Kamis, 07 Oktober 2010

readmore

Batik pekalongan
Batik Pekalongan termasuk batik pesisir yang paling kaya akan warna. Sebagaimana ciri khas batik pesisir, ragam hiasnya biasanya bersifat naturalis. Jika dibanding dengan batik pesisir lainnya Batik Pekalongan ini sangat dipengaruhi pendatang keturunan China dan Belanda. Motif Batik Pekalongan sangat bebas, dan menarik, meskipun motifnya terkadang sama dengan batik Solo atau Yogya, seringkali dimodifikasi dengan variasi warna yang atraktif. Tak jarang pada sehelai kain batik dijumpai hingga 8 warna yang berani, dan kombinasi yang dinamis. Motif yang paling populer di dan terkenal dari pekalongan adalah motif batik Jlamprang.
Batik Pekalongan banyak dipasarkan hingga ke daerah luar jawa, diantaranya Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Minahasa, hingga Makassar. Biasanya pedagang batik di daerah ini memesan motif yang sesuai dengan selera dan adat daerah masing-masing.
Keistimewaan Batik Pekalongan adalah, para pembatiknya selalu mengikuti perkembangan jaman . Misalnya pada waktu penjajahan Jepang, maka lahir batik dengan nama’Batik Jawa Hokokai’,yaitu batik dengan motif dan warna yang mirip kimono Jepang. Pada umumnya batik jawa hokokai ini merupakan batik pagi-sore. Pada tahun enampuluhan juga diciptakan batik dengan nama tritura. Bahkan pada tahun 2005, sesaat setelah presiden SBY diangkat muncul batik dengan motif ‘SBY’ yaitu motif batik yang mirip dengankain tenun ikat atau songket. Motif yang cukup populer akhir-akhir ini adalah motif Tsunami. Memang orang Pekalongan tidak pernah kehabisan ide untuk membuat kreasi motif batik.
readmore
Batik Jogja

Para pedagang di kawasan Malioboro dan Pasar Beringharjo menjadi salah satu saksi bahwa batik Yogya belum bisa menjadi “raja” di wilayah sendiri. Mereka mengaku enggan menjual batik Yogya karena motifnya yang terlalu berorientasi pada pakem-pakem tradisional dengan corak atau desain yang kurang memenuhi selera pasar. Bahkan, cenderung terasa monoton, hingga berkesan tak memberi ruang bagi dinamika motif. Oleh Boni Dwi
Pada kenyataannya, berbicara tentang produk batik maka juga harus berbicara tentang prospek pasarnya. Apabila ingin tetap bertahan, tampaknya para produsen batik Yogyakarta perlu berupaya keras agar bisa keluar dari citra tadi.
Namun demikian, menurut Budi Suhendar (34), salah seorang pedagang batik di Pasar Beringharjo, Senin (15/5), hal itu bukan berarti ada keharusan menghilangkan citra tradisional batik Yogya. Sebagian konsumen masih tetap ada yang fanatik dengan nuansa tradisional. “Hanya saja, desainnya jangan monoton. Selama ini, produk batik Yogya selalu terbatas pada jarit, selendang, dan batik prada.
Beda dengan batik Pekalongan dan Solo, yang bisa membuat desain kaus santai, hem santai, celana pendek santai. Coba buat desain seperti itu, dengan motif atau corak tradisional, saya jamin pasti laku,” kata Budi yang sudah 20 tahun menjadi penjual batik itu. Kalangan muda Dari kalangan produsen dan toko batik di Yogya sendiri, kesadaran untuk mengembangkan desain batik terutama dilatarbelakangi perubahan gaya hidup manusia modern dibandingkan masa sebelumnya, khususnya di kalangan kaum muda.
Dengan kata lain, tujuan yang ingin diraih adalah jangan sampai batik kehilangan pamor, generasi penerus, dan dilupakan. “Batik tidak sekadar kain sarung, jarit, atau selendang, tetapi juga baju kerja dan baju santai bagi seluruh kalangan. Jangan sampai batik hilang pamor di negeri produsen batik sendiri,” ujar Sodikin, Direktur Batik Pertiwi. Indah Widiarti, Manager Batik Margaria Grup, mengatakan pengembangan desain itu digarap secara serius di tengah optimisme bahwa batik tetap akan digemari oleh sejumlah kalangan di masyarakat dari waktu ke waktu. Sebab, menurut dia, batik sebagai sesuatu yang unik tetapi asli, malah akan dicari orang.
Namun, keduanya menyadari tidak mudah melepaskan anggapan bahwa batik itu berkaitan dengan sesuatu yang formal, resmi, dan berkaitan denga pakem-pakem tertentu, demi memperoleh orisinalitas sebuah produk batik. Apalagi, kondisi semacam itu sudah berlangsung dalam kurun waktu yang relatif lama, berpuluh-puluh tahun. Untuk itu, mereka harus melakukan kompromi antara pakem dengan selera pasar.
Kompromi “Kompromi itu mencakup warna, motif, model, serta material yang digunakan. Semuanya digabung menjadi satu konsep khusus mode batik untuk kaum muda,” kata Indah. Sesuai segmen yang dibidik Margaria, yakni kelas menengah-atas, kata Indah, maka warna yang dipilih biasanya adalah warna-warna lembut dengan motif tabur, seperti bunga-bunga kecil, yang lebih menonjol. Material yang dipilih pun lebih banyak berbahan katun maupun paris.
Sodikin dari Pertiwi Grup juga mengaku fokus pada penciptaan desain- desain yang lebih menarik bagi kaum muda, misalnya desain produk batik yang asimetris. Desain batik asimetris itu merupakan desain relatif baru yang lain dari pakem selama ini, di mana batik selalu simetris. Sejak sekitar lima tahun terakhir, pergerakan pasar batik di Yogyakarta justru didominasi oleh batik asal Pekalongan dan Solo. Muncul sebuah anekdot yang cukup ironis dari salah satu pedagang di Pasar Beringharjo, bahwa batik Yogya belum bisa menjadi raja di wilayah sendiri. “Kesannya, Yogya itu sedang terjajah oleh batik luar Yogya. Ini kan lucu.
Padahal, Yogya juga terkenal dengan produk batiknya,” ujar Harni, produsen dan pedagang batik di wilayah Ngasem. Seretnya perkembangan batik Yogya, salah satunya disebabkan kurang inovatifnya para produsen dalam menampilkan desain dan motif. Mungkin, perlu ada semacam “pemberontakan” terhadap pakem yang selama ini telanjur dianggap mapan. Entah apa pun bentuknya, yang jelas itu berawal dari keinginan bahwa batik Yogyakarta tidak boleh tenggelam ditelan zaman…

Batik Madura

Jakarta, Bicara Madura, orang pasti langsung teringat dengan karapan sapi dan satenya. Padahal ada kekayaan budaya asli Indonesia yang sudah terkenal ke beberapa penjuru dunia terdapat di pulau penghasil garam tersebut.

Batik Madura. Ya, meski seolah tidak jauh berbeda dengan batik asli Indonesia dari daerah lain seperti Cirebon, Yogya ataupun Solo, namun ada yang berbeda dari batik Madura.

Ciri khas dari Batik Madura adalah penggunaan warna dasar yang cerah dan beragam motif yang menggambarkan karakter masyarakat lokal.

"Warna yang dipakai dalam kain Batik Madura biasanya warna cerah, seringkali merah yang dipakai karena memiliki karakter warna yang keras dan kuat. Sama seperti karakter penduduknya," jelas Siti Maimona, pemilik dari Pesona Batik Madura.

Ia menyampaikan hal itu saat ditemui dalam acara pameran Gerai Batik Nusantara di Plasa Pameran Industri, Departemen Perindustrian, Jakarta, Senin (8/92008).

Ciri khas lain yang dimiliki oleh Batik Madura adalah banyaknya garis yang terpampang dalam satu desain batiknya. Tiap desain batiknya pun memiliki kisah atau cerita masing-masing yang semuanya menggambarkan keseharian rakyat Madura.

Soal harga cukup bervariasi laiknya kain batik lain. Harga yang ditawarkan untuk satu helai kain Batik Madura sangat beragam. Mulai dari yang paling murah seharga Rp 100.000 hingga yang termahal seharga Rp 3,5 juta.

"Harga sangat tergantung dari tingkat kesulitan desain dan lamanya proses pembuatan
batik itu sendiri," katanya.

Ia mengatakan, jangka waktu yang diperlukan untuk membuat satu buah Batik Madura berbeda-beda. Mulai dari enam bulan hingga satu tahun. Semakin lama waktu yang diperlukan untuk membuat batik tersebut maka harganya semakin mahal. Mengapa demikian, karena semakin lama proses produksinya maka warna yang dihasilkan akan semakin pekat.

Menurut wanita asli Madura ini, setiap Batik Madura dihasilkan setelah melewati beberapa tahap yang cukup panjang. Mulai dari perendaman kain di dalam air bercampur minyak, kemudian dicuci dan diberi kanji, lalu pewarnaan dan terakhir dijemur di bawah panas matahari.

Siti merupakan generasi keempat dari pengrajin batik asal Madura. Keluarganya mulai merintis bisnis ini sejak tahun 1950.

"Sempat vakum juga ketika memasuki generasi ketiga. Saya sendiri mulai berkonsentrasi di bisnis ini sejak tahun 1996 lalu," ujar wanita yang murah senyum ini.

Usaha keluarganya ia bangun kembali dengan modal minim serta jumlah pengrajin batik yang tidak bisa dibilang banyak.

"Saya memulai kembali usaha keluarga ini dengan bermodalkan uang Rp 5 juta dan hanya 6 pengrajin batik," imbuhnya.

Agar tidak terlihat monoton dan bisa berkembang lebih jauh lagi, Ia mencoba melakukan beberapa inovasi dalam kain batiknya. Salah satu yang Ia dan karyawannya lakukan adalah dengan cara melakukan reproduksi desain kain batik lama digabung dengan sentuhan dari desain masa kini.

"Saya mulai belajar untuk melakukan kombinasi dalam desainnya," tuturnya.

Hasilnya sungguh diluar dugaan. Penjualan Batik Madura miliknya tidak hanya dikonsumsi oleh penggemar batik dalam negeri tetapi juga hingga ke luar negeri. Bahkan ia mengaku, konsumen luar negeri lebih banyak dibandingkan konsumen domestik.

Ia pun sudah beberapa kali mengikuti pameran berskala internasional, seperti di Italia, Cina dan Jepang. "Animo masyarakat Jepang akan batik dari Indonesia cukup tinggi," kata Siti.

Kini, usaha Batik Madura milik Siti sudah sangat berkembang. Jumlah pengrajin batik yang berada di bawah benderanya pun membengkak hingga 96 orang. Dalam setahun, Ia mengaku bisa mengantongi pendapatan hingga Rp 2 miliar.

Menurutnya, jumlah pendapatannya masih bisa melonjak jika melirik trend batik sedang melanda tanah air dewasa ini. "Sudah satu tahun terakhir ini ada peningkatan pendapatan. Tahun ini sepertinya bisa jauh lebih bagus lagi," pungkasnya.

1 komentar:

gross_001 mengatakan...

BATIK SMAKIN MENGGAIRAHKAN,,, PEREKONOMIAN SEMAKIN MENINGKAT DENGAN CINTA PRODUK DALAM NEGRI SMANGAT

Posting Komentar